Harusnya Aku tidak Terlalu Percaya
Ingatanku menerobos dinding tebal yang
belum kutau nama dinding itu apa. Setelah sembilan duapuluh hari kita bersama,
akhirnya kamu memutuskan untuk mengakhiri hubungang kita. Ya, tepatnya enam
hari yang lalukamu mengatakanya didepanku dengan alasan kamu ingin belajar. Meskipun
aku belum mengiyakan keputusanmu yang membuatku tersentak, namun hubungan kita
sudah tidak membaik.
Apa kautau apa yang kurasakan saat ini? Tidak!
Kamu tidak akan pernah tau. Aku merindukanmu, sungguh merindukanmu, aku
merindukanmu yang dulu, rindu genggaman hangat dari tanganmu, rindu ucapan
selamat tidur yang kubaca setiap malam untukku,
rindu menatap wajahmu dengan dekat ketika dimotor yang kaupacu, rindu
perhatianmu, sungguh aku merindukanmu. Aku tak tau akan sampai kapan rasa ini
menyiksaku, membalut setiap malamku.
Air yang tak hentinya mengalir ini
menemaniku saat aku menulis tentangmu. Tentang seorang pria yang kkucinta, pria
yang kusayangi, seorangpria yang telah berhasil membuat aku merindukanya.
Masih terngiang dibenakku ketika kamu
berkata bahwa kamu tak akan pernah melepaskan aku, waktu itu kita baru saja
keluar dari sebuah kedai bakso. Kata-kata yang selalu kugenggam erat didalam
hati. Namun, apa yang kamu lakukan sekarang? Kamu masih denganku? Haha ternyata
tidak. Oh bukan, bukaaaan.. bukan itu
yang kumaksudkan. Bukan kita tak lagi bersama, hanya keadaan kita ang tak
sebaik dulu. Seharusnya aku tak terlalu percaya dengan perkataanmu sore itu. Kalimat
yang kauucapakan ditengah hujan yang mengguyur kota Purworejo. Senyum serta genggaman tanganmu yang hangat membuatku
tak mampu berkata. Hujan itu menjadi saksi bisu atas ucapanmu.
Tak jarang kamu memintaku untuk percaya
dan dapat menjaga hatimu. Namun kau tak pernah mau mencoba untuk menjaga hati
aku, kamu tak pernah menjaga kepercayaan yang telah kuberikan. Kesakitanku saat kaupergi pergi kemadiun
dengan mantan kekasihmu tanpa izinku, kepergianmu saat kau pergi engan seorang
wanita yang menyimpan rasa untukmu, ketika kamu mendekati seorang wanita,
ketika kamu berfoto-foto mesra dengan orang lain. Aku hanya mampu terdiam
menahan sakitnya perih yang kaubuat.
Terkadang aku sadar akan kebodohanku,
kebodohanku karna aku tak dapat pergi meninggalkan orang yang telah berulang
kali menyakitiku. Ketidakmampuanku untuk membentakmu adalah ketololanku yang
seringkali aku sesali. Aku hanya bisa bersembunyi dibalik punggung dari
teman-temanku agar kamu tak mengetahui merahnya mataku.
Mulai sekarang aku akan menulis tentangmu
dengan tangis yang tak bersuara agar kamu tak pernah mendengar rintihan
perasaan yang selama ini aku pendam rapat-rapat dibalik pintu hati. Pintu dimana
didalamnya terdapat ruang kecil khusus untukmu. Untuk pria yang telah berhasil membuatku tak
bisa terlelap disaat mata memaksaku untuk bermimpi.
Comments
Post a Comment