Senja
Sore yang Menjadi Temanku
Senja sore yang nampak indah
dari lorong rumah sakit itu menemaniku menunggu jawaban pesan singkat yang
kukirim untukmu beberapa jam yang lalu dari ponselku. Aku duduk termenung
berharap ada dering dari ponselku sore itu. namun, sia-sia. Semua itu tak aku dapatkan
sore itu. kau tak membalas pesan singkatku. Entahlah apa yang kurasakan saat
itu. aku hanya ingin memberi tau kabar yang sedang menimpa ibuku. Dia dirawat
dirumah sakit dekat rumahmu.
Sakitku ketika dia bertanya
tentangmu. Sosok yang selama ini selalu ada disampingku. Sosok yang aku
bangga-banggakan. Sosok pria yang (katanya) bertanggung jawab. Ketika dia
menyuruhku menelponemu untuk meminta agar kau mengantarkan aku pulang kerumah.
Saat itu pula aku mulai berani mengatakan kebohongan. Aku hanya berkata bahwa
priaku itu sedang sibuk. Tak ada yang mampu aku ucapkan. Senyum kebohongan itu
membuat sakitku lebih memuncak. Masjid yang menjadi tempatku untuk menumpahkan
semua kesedihanku. Disana aku mengadu menangis pilu.
Kemana kamu saat itu? saat aku benar-benar
membutuhkanmu? Kamu menghilang. Tak ada kabar. Tak ada berita. Dan ketika kamu
memberi kabar, aku sudah memutuskan untuk tidak memberi taumu tentang ibuku.
Hari ini, jam ini, menit ini,
detik ini entah kenapa, entah dengan perasaan apa, entah dengan pikiran
bagaimana rasanya ingin sekali aku menulis tentangmu. Tentang seorang pria yang
pernah menjadi bagian dari hari-hariku. Sosok pria yang pernah membuatku
tertawa bebas diantara tangisku, seorang yang pernah membuatku menangis
diantara tawa yang ada.
Nyek, dulu sering sekali kutulis
tentangmu di diary kecilku. Tentang apapun yang menyangkut akan dirimu. Namun,
sekarang aku enggan untuk menulisnya lagi. Aku takut, sangat takut akan rasa
sakit yang selalu mampir dihatiku. Sempat aku bertanya, akankah kau kembali
lagi. Menemaniku menorehkan tinta hitam di diary kecilku.
Sejak saat itu, kamu menjadi
dingin denganku. Ya, kamu mendiamkan aku. Entahlah apa yang kaupikirkan. Dan
sejak saat itulah aku belajar mandiri. Aku menyadari bahwa selama ini aku terlalu
bergantung denganmu.
Lorong rumah sakit yang menjadi
temanku setiap aku lelah untuk berpura tersenyum didalam ruangan penuh penyakit
itu.
Comments
Post a Comment